Anak SD dilarang Mondok Ini Dalilnya



Ada beberapa momen sedih yang kami dapatkan dari santri santri usia dini yang sudah dipondokan ortunya. Dan itu merupakan

Jeritan rasa kangen seorang anak santri kepada orang tuanya yang ditulis di bantal tidurnya. Sedih dan terharu. 

Saya pribadi termasuk orang yang tidak setuju kalau anak-anak SEUSIA SD dipondokan. 


Anak usia SD sebaiknya Dibiarkan mereka sekolah pulang pergi seperti keumuman anak-anak di usianya. Sorenya bisa ditambah dengan diikutkan TPA (Taman Pendidikan Al-Quran). Jika sudah besar, sekitar usia SMP atau SMA, silahkan jika mau dipondokkan. Itupun tidak harus. Kalaupun harus mondok, cari yang dekat saja.


Kenapa ? Karena usia anak-anak, SD ke bawah, yang paling mereka butuhkan adalah kasih sayang orang tuanya, terutama ibu. Mereka butuh pendidikan yang berada di rumahnya sendiri dengan ibu dan ayah sebagai pengajarnya. Sisa waktunya, biarkan mereka gunakan untuk bermain dengan puas bersama teman-temannya. Saat itu, ilmu hanyalah sampingan saja. 


Kalau dipaksakan, khawatir mereka akan Bosan justru pada usia yang seharusnya mereka meneguk ilmu sebanyak-banyaknya (Pasca baligh). 

Selain itu, anak yang kekurangan kasih sayang dari orang tuanya, cenderung nakal dan brutal. Kita saja sebagai orang tua belum tentu mampu, tapi kenapa hal itu kita paksakan kepada anak-anak kita ?


Saya pernah jadi santri, dan saya juga seorang pendidik di pondok pesantren. Sehingga saya paham betul dunia dan kata hati mereka.


Bagi Anak Usia Dini, Bagian yang berkembang lebih dahulu dalam dirinya adalah Perasaan dan Sensivitasnya.


Maka tuntaskanlah Egosentris Anak tidak dicekoki dahulu dengan beragam muatan kognitif, biarkan dia jadi anak yang Bahagia, bukan. menjadi anak yang pintar. 


Apakah kita akan membuat bangunan yg indah diatas Pondasi yang keropos ? 

Apakah Kita sedang mencetak generasi yg mudah galau, stress bahkan nekad mau bunuh diri ketika menghadapi beragam Problematika kehidupan. 


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الْوَالِدَةِ وَوَلَدِهَا فَرَّقَ اللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَحِبَّتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa memisahkan antara ibu dan anaknya, maka Allah akan memisahkan dia dan orang yang dicintainya kelak di hari kiamat.” 


[ HR. Tirmidzi, hasan gharib] 


Batas usia anak tidak boleh dipisahkan dari ibunya adalah sampai usia baligh, sebagaimana dalam hadits berikut. Sahabat Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu berkata,


نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يفرق بين الأم وولدها . فقيل : يا رسول الله إلى متى ؟ قال : حتى يبلغ الغلام ، وتحيض الجارية


“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang memisahkan antara ibu dan anaknya. Ada yang bertanya pada beliau, ‘Wahai Rasulullah, sampai kapan?’ Beliau menjawab, ‘Sampai mencapai baligh bila laki-laki dan haidh bila perempuan.’

[ HR. Al Hakim, Shahih]


Besarnya Perhatian dan Kasih Sayang Ibu

Hak pengasuhan anak selama masih belum tamyiz (usia tujuh tahun umumnya) adalah utamanya di tangan istri selama istri tidak menikah lagi. Ingat juga, hak pengasuhan anak (Hadhanah) perlu diputuskan dengan banyak pertimbangan dari hakim/qadhi. Pembahasan ini juga terdapat faidah lain yaitu pentingnya perhatian, kasih sayang dan kedekatan orang tua terutama ibu pada anak yang masih belum baligh.


Ibnul Qayyim menjelaskan,

: ﻓﺈﻧﻪ ﺟﻌﻞ ـ ﻳﻌﻨﻲ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ ـ ﺍﻷﻡ ﺃﺣﻖ ﺑﺎﻟﻮﻟﺪ ﻣﻦ ﺍﻷﺏ، ﻣﻊ ﻗﺮﺏ ﺍﻟﺪﺍﺭ ﻭﺇﻣﻜﺎﻥ ﺍﻟﻠﻘﺎﺀ ﻛﻞ ﻭﻗﺖ ﻟﻮ ﻗﻀﻲ ﺑﻪ ﻟﻸﺏ، ﻭﻗﻀﻰ ﺃﻥ ﻻ ﺗﻮﻟﻪ ﻭﺍﻟﺪﺓ ﻋﻠﻰ ﻭﻟﺪﻫﺎ، ﻭﺃﺧﺒﺮ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻓﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﻭﺍﻟﺪﺓ ﻭﻭﻟﺪﻫﺎ ﻓﺮﻕ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻴﻨﻪ ﻭﺑﻴﻦ ﺃﺣﺒﺘﻪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ، ﻭﻣﻨﻊ ﺃﻥ ﺗﺒﺎﻉ ﺍﻷﻡ ﺩﻭﻥ ﻭﻟﺪﻫﺎ ﻭﺍﻟﻮﻟﺪ


“Pembuat syariat (Allah) menjadikan ibu lebih berhak mengasuh anak dari bapak karena dekatnya dan memungkinkan bertemu setiap waktu. Jika qadhi memutuskan hak asuh pada bapaknya, tidak boleh melarang ia bertemu dengan ibunya.”[3]


Ini juga sesuai dengan hadits mengenai ibu lebih berhak mengasuh anak yang masih dari sang bapak. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwasanya ada seorang wanita pernah mendatangi Rasulullah mengadukan masalahnya. Wanita itu berkata,

ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﻥَّ ﺍﺑْﻨِﻲ ﻫَﺬَﺍ ﻛَﺎﻥَ ﺑَﻄْﻨِﻲ ﻟَﻪُ ﻭِﻋَﺎﺀً ﻭَﺛَﺪْﻳِﻲ ﻟَﻪُ ﺳِﻘَﺎﺀً ﻭَﺣِﺠْﺮِﻱ ﻟَﻪُ ﺣِﻮَﺍﺀً ﻭَﺇِﻥَّ ﺃَﺑَﺎﻩُ ﻃَﻠَّﻘَﻨِﻲ ﻭَﺃَﺭَﺍﺩَ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋَﻪُ ﻣِﻨِّﻲ


“Wahai Rasulullah. Anakku ini dahulu, akulah yang mengandungnya. Akulah yang menyusui dan memangkunya. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan ingin mengambilnya dariku.”


Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab,


ﺃَﻧْﺖِ ﺃَﺣَﻖُّ ﺑِﻪِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﺗَﻨْﻜِﺤِﻲ


“Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah.” [4]


Terdapat hadits larangan memisahkan anak hewan yaitu burung dari induknya. Silahkan direnungkan, untuk hewan saja, ada larangan jangan sampai anak terpisah dari induknya, apalagi manusia. Ini juga renungkan bagi, ibu yang terlalu sibuk mengejar karir sehingga terpisah dan sangat jarang berjumpa dengan anak-anak yang wajib ia asuh.


Dari Abdullah bin Mas’ud beliau berkata,


ﻛﻨَّﺎ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺳﻔﺮ، ﻓﺎﻧﻄﻠﻖ ﻟﺤﺎﺟﺘﻪ ﻓﺮﺃﻳﻨﺎ ﺣُﻤﺮﺓ ﻣﻌﻬﺎ ﻓﺮﺧﺎﻥ، ﻓﺄﺧﺬﻧﺎ ﻓﺮﺧﻴﻬﺎ، ﻓﺠﺎﺀﺕ ﺍﻟﺤُﻤﺮﺓُ ﻓﺠﻌﻠﺖ ﺗﻔﺮِﺵ، ﻓﺠﺎﺀ ﺍﻟﻨَّﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ : ‏ﻣﻦ ﻓﺠﻊ ﻫﺬﻩ ﺑﻮﻟﺪﻫﺎ؟ ﺭﺩُّﻭﺍ ﻭﻟﺪﻫﺎ ﺇﻟﻴﻬﺎ


“Suatu ketika kami bersama dengan Rasulullah dalam sebuah perjalanan. Ketika Nabi pergi untuk buang hajat kami melihat seekor burung bersama dua anaknya yang masih kecil. Kami ambil dua anak burung tersebut. Tak lama setelah itu si induk burung datang mencari anaknya. Ketika Nabi datang dan melihat hal tersebut beliau bersabda, ‘Siapa yang membuat induk burung ini mencemaskan anaknya? Kembalikan anaknya kepada induknya!’” [5]

____

[1] HR. Tirmidzi, hasan gharib

[2] HR. Al Hakim, Shahih

[3] Lihat Zaadul Ma’ad

[4] HR Ahmad & Abu Dawud, Hasan

[5] HR. Abu Daud, Shahih

____

Ustadz Khudori

Mudir Pesantren Inklusi Griya Sunnah 

WA Admin 

0 Komentar